English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

ZULKARNAEN "DIPERINTAH" KOOPERATIF DENGAN KPK

Tersangka dalam kasus suap pembahasan anggaran proyek pengadaan Alquran, Zulkarnaen Djabar menegaskan dirinya akan kooperatif dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika dirinya nantinya dipanggil ke KPK.

"Pada saatnya apabila saya dipanggil oleh KPK, saya akan siap untuk kooperatif. Saya akan ceritakan apa yang saya tahu, apa yang saya dengar, apa yang saya lihat," terang Zulkarnaen di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat, Senin (6/8/2012).

Zulkarnaen mengaku sebagai kader Golkar dirinya tentu melakukan komunikasi dengan partai, khususnya dalam statusnya sebagai tersangka dan langkah-langkah yang perlu diambil.

"Termasuk komunikasi dengan ketua umum, langkah-langkah apa yang dilakukan. Saya juga diimbau dan memang juga sudah menjadi komitmen saya, agar bertindak kooperatif dengan KPK," lanjut Zulkarnaen.

Meskipun demikian, Zulkarnaen berharap semua pihak mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan mengikuti proses hukum yang sedang berjalan.

"Saya juga menghimbau tentunya dan (karena) pada posisi sekarang saya belum diperiksa KPK kita sama-sama mengandung prinsip asa praduga tak bersalah saya kira itu prinsip yang harus di hormati bersama," tandas Zulkarnaen.

Seperti diberitakan, pada kasus ini KPK sudah menetapkan Zulkarnaen Djabar selaku Anggota DPR Fraksi Golkar dan Dendi Prasetia, Direktur Utama PT Karya Sinergi Alam Indonesia sebagai tersangka.

Ayah dan anak ini diduga menerima uang senilai Rp 4 miliar untuk memuluskan anggaran pengadaan Alquran dan Laboratorium Komputer di Kemenag.

Keduanya diduga terlibat dalam pembahasan anggaran proyek pengadaan Al Quran pada tahun 2011 senilai Rp 20 miliar. Sementara untuk pengadaan laboratorium komputer senilai Rp 31 miliar.

Mereka disangkakan dalam pasal penyuapan, dan dijerat dengan pasal 12 huruf a atau b subsidair pasal 5 ayat 2, lebih subsidair pasal 11 Undang-undang no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi.

Sumber :  TRIBUNNEWS.COM

PEJABAT KEMEN AGAMA PASTI TERLIBAT KORUPSI

Ketua DPR RI Marzuki Alie menegaskan dalam kasus korupsi anggota DPR tidak melakukan korupsi sendiri melainkan kolaborasi atau kongkalingkong dengan eksekutif.

Dia mencontohkan dalam kasus pengadaan Alquran yang membuat Anggota DPR dari Fraksi Golkar Zulkarnaen Djabar ditetapkan KPK sebagai tersangka.

"Dalam kasus korupsi Alquran yang ditujukan ke salah satu kader partai tidak mungkin berdiri sendiri. Pasti ada orang di Kementerian Agama terlibat," kata Marzuki di gedung DPR RI Jakarta, Jumat (20/7/2012).

Menurut Marzuki bagaimana bisa sebuah tender disusun anggota DPR. Yang terjadi adalah kolaborasi negatif antara oknum anggota DPR dengan oknum di pemerintahan yang menggelontorkan anggaran untuk memenangkan tender kepada pihak tertentu.

"Tender dikendalikan dan dapat uangnya. Sehingga kongkalikong kolaborasi itu sudah sering saya sampaikan," katanya.

Marzuki menanggapi pernyataan Presiden SBY soal kongkalingkong pembahasan anggaran yang menyebabkan korupsi. "Statemen presiden ingatkan kita," pungkasnya.


TRIBUNNEWS.COM

SEPULUH ANGGOTA DPR TERINDIKASI KORUPSI

Kepala PPATK, Muhammad Yusuf  [Antara] Kepala PPATK, Muhammad Yusuf
Sebanyak 10 anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) yang masih aktif, terindikasi terlibat tindak pidana korupsi.

Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan data transaksi mencurigakan, dengan nilai yang mencapai ratusan miliar rupiah. Kepala PPATK, Muhammad Yusuf  mengatakan, pihaknya telah menyerahkan laporan hasil analisa (LHA)   terkait 10 anggota Banggar DPR tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Kami sudah menganalisa ada sekitar 1.000-an dan yang sudah jadi dan kita kirim ke KPK ada 10 nama anggota Banggar DPR RI yang masih aktif. Laporan transaksi mencurigakan 10 nama anggota Banggar DPR itu terindikasi tindak pidana. Tinggal KPK yang mendalami,” jelas Yusuf di kantor PPATK Jakarta, Kamis (19/7). 

Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menambahkan, nilai transaksi mencurigakan itu bervariasi, mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 2 miliar sekali transaksi, bahkan ada sampai dengan total ratusan miliar. Hal itu sudah dilaporkan ke penegak hukum. 

”Tetapi saya tidak bisa mengungkap siapa nama pemilik transaksi mencurigakan itu, pastinya laporan hasil analisisnya sudah disampaikan ke KPK. Yang jelas transaksinya itu lebih dari satu kali dan lebih dengan banyak orang," ungkap dia. 

Dikatakan, transaksi itu bukan hanya dalam satu tahun, tetapi dari beberapa tahun dengan nilai yang mencapai ratusan miliar. Transaksi itu mencurigakan karena tidak sesuai dengan profiling gaji dan keuangannya.

 
Pejabat Daerah

Selain itu, PPATK juga menemukan 2.392 laporan transaksi mencurigakan yang melibatkan nama-nama pejabat pemerintahan daerah. Hal itu terdiri dari 187 bendahara daerah, 376 dari pejabat berbagai dinas pemerintahan, dan 729 dari staf keuangan. Data ini terhitung sampai Mei 2012 lalu.  

"Transaksi mencurigakan itu didasarkan antara lain pada jumlah nilai transaksi tunai serta frekuensinya. Contohnya terdapat 376 laporan transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan bupati. Dari jumlah itu terdapat 308 hasil analisis telah disampaikan kepada pihak penyidik,” ungkap Yunus.  

PPATK menemukan adanya berbagai modus dalam transaksi keuangan mencurigakan tersebut yang dapat berindikasi tindak pidana. PPATK telah mengkaji sejak mendapat informasi awal, lalu menguji dengan melihat profil yang bersangkutan, misalnya gaji riilnya dan frekuensi transaksi.  

Setelah melihat semua, lanjut Yunus, baru diputuskan perlu adanya pendalaman, karena tidak ada penjelasan dan klarifikasi atas transaksi.

Dinyatakan modus yang ditemukan PPATK antara lain tidak memasukkan pendapatan anggaran daerah ke kas, melainkan ke rekening pribadi, juga menginvestasikan dana daerah ke usaha lain, tanpa izin.

LINGKARAN KORUPSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Power tends to corrupt, kekuasaan yang melekat pada seseorang menyebabkan sang penguasa cenderung menyalahgunakan kewenangannya. Pepatah Eropa itu sepertinya berlaku untuk anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan mereka yang bagai dewa dalam menentukan hidup anggaran setiap lembaga negara, cenderung diselewengkan untuk meraup keuntungan pribadi. Tak heran, banyak anggota Banggar DPR yang terjerat kasus dugaan korupsi.

 
"Banggar itu seperti dewa menentukan hidup anggaran setiap lembaga negara. Dengan kewenangan yang besar itu, kemungkinan penyalahgunaannya juga besar," kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada, Hifdzil Alim saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/7/2012).

Seseorang yang mengurus uang, katanya, pasti tergoda untuk mencicipi manisnya uang itu. Ibaratnya meletakkan madu di lidah, seseorang akan tergoda untuk menelan manisnya madu tersebut. "Jadi, Banggar sepertinya ingin mencicipi anggaran juga," ucap Hifdzil.

Berdasarkan catatan Kompas.com, bukan satu atau dua orang anggota Banggar DPR yang terindikasi korupsi. Kemarin (26/7/2012) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan 10 anggota Banggar DPR yang terindikasi korupsi. Dari 2003 hingga Juni 2012, PPATK menerima lebih dari 2.000 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) terkait anggota Banggar dari penyedia jasa keuangan. PPATK lalu melakukan analisis terhadap transaksi mencurigakan itu untuk mengetahui ada atau tidaknya indikasi pidana.

Hingga kini, PPATK telah menganalisis sekitar 1.000 LTKM anggota Banggar DPR. Mengejutkan? Rasanya tidak juga. Apa yang disampaikan PPATK baru terkait anggota Banggar yang terindikasi korupsi. Bagaimana dengan yang nyata-nyata terbukti korupsi?


Anggota Banggar ke meja hijau
Kompas.com mencatat, sepanjang 2012, KPK berhasil menyeret dua anggota Banggar DPR ke meja hijau. Adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin yang divonis empat tahun 10 bulan penjara karena dianggap terbukti menerima suap. Uang suap berupa cek senilai Rp 4,6 miliar itu diterima Nazaruddin terkait kapasitasnya sebagai anggota Banggar DPR dalam mengawal penganggaran proyek Wisma Atlet SEA Games Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Bukan hanya Nazaruddin, anggota Banggar dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Wa Ode Nurhayati juga duduk di kursi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Jaksa KPK mendakwa Wa Ode menerima suap Rp 6,5 miliar dari tiga pengusaha terkait kewenangan Wa Ode dalam mengalokasikan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID).

Menjadi Tersangka Polanya, seolah sama. Dugaan korupsi yang dilakukan anggota Banggar DPR terkait dengan penganggaran proyek-proyek pemerintah. Sebut saja, Angelina Sondakh. Anggota DPR asal Fraksi Partai Demokrat itu terpaksa mendekam di Rumah Tahanan Jakarta Timur Cabang KPK karena menjadi tersangka kasus dugaan suap. Angelina selaku anggota Banggar DPR diduga menerima suap terkait penganggaran proyek Wisma Atlet SEA Games di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta proyek pengadaan sarana dan prasarana universitas yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional tahun anggaran 2010/2011. KPK menemukan 16 aliran dana mencurigakan ke Angelina yang nilainya miliaran rupiah.

Belakangan, publik kembali dikejutkan dengan sepak terjang anggota Banggar DPR asal Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar. Wakil Bendahara Umum Partai Golkar itu ditetapkan KPK sebagai tersangka atas dugaan menerima suap. Lagi-lagi, pemberian suap diduga terkait dengan penganggaran proyek pemerintah. Zulkarnaen diduga menerima suap terkait penganggaran proyek Al Quran dan laboratorium madrasah tsanawiyah di Kementerian Agama. Nilai suap yang diduga diterima Zulkarnaen, lebih dari Rp 4 miliar.


Disebut Terlibat
Korupsi Banggar yang sistemik biasanya tidak hanya melibatkan seorang aktor. Ada aktor-aktor lain yang diduga terlibat namun belum terungkap. Dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games misalnya, sejumlah nama anggota Banggar disebut terlibat namun belum diproses hukum KPK. Mereka di antaranya, I Wayan Koster dan Mirwan Amir.

Dalam persidangan Nazaruddin terungkap kalau Koster ikut menerima dana proyek Wisma Atlet. Demikian juga dengan Mirwan Amir. Keduanya juga pernah diperiksa KPK sebagai saksi kasus ini. Nama Mirwan Amir tidak hanya disebut dalam kasus suap Wisma Atlet SEA Games. Mirwan yang kini tidak lagi jadi anggota Banggar itu juga dikatakan punya "jatah" terkait proyek DPID.

Salah satu tersangka kasus DPID, Fahd El Fouz atau Fahd A Rafiq saat bersaksi dalam persidangan Wa Ode beberapa waktu lalu menyebut Mirwan dapat jatah mengurus DPRID untuk Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Besar. Fahd juga mengungkapkan "jatah" pimpinan Banggar, Tamsil Linrung dalam mengurus DPID untuk Kabupaten Pidie Jaya.

Terkait penyidikan kasus DPID ini, KPK sudah memeriksa Mirwan dan Tamsil. Bukan hanya mereka, KPK bahkan memeriksa dua pimpinan Banggar lainnya, yakni Olly Dondokambey dan Melchias Markus Mekeng.


Kurangi Kewenangan Banggar
Perilaku korup yang cenderung menghinggapi para anggota Banggar DPR itu tidak terlepas dari kekuasaan Banggar yang begitu besar. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan menilai, kewenangan Banggar yang terlalu besar sebagai alat kelengkapan DPR berpotensi menjadi sumber korupsi. Menurut dia, fungsi Banggar harus dikurangi. Kewenangan Banggar sebaiknya dibatasi hanya sebagai alat kelengkapan DPR yang mensinkronisasi anggaran yang sudah dibahas masing-masing komisi dengan pemerintah sebelumnya.

"Banggar harus dikembalikan fungsinya, untuk sinkronisasi, tidak membahas detil. Yang bahas biarlah komisi dan kementerian terkait," kata Ade.

Banggar yang terlalu kuat seringkali melakukan "potong jalur" atau tidak menaati prosedur resmi dalam menyusun anggaran. Banggar seringkali melewati proses pembahasan anggaran di komisi dan langsung menentukan besaran anggaran serta alokasinya. Padahal seharusnya fungsi Banggar berangkat dari bagaimana masing-masing komisi di DPR mengidentifikasi kebutuhan kelembagaan yang diwakilinya dan mengharmonisasikannya sesuai dengan ketersediaan anggaran.
"Kuasa yang terlalu kuat ini disalahgunakan untuk mencari rente," kata Ade.


Gunakan TPPU
Ade Irawan juga menilai, korupsi yang dilakukan anggota Banggar DPR tidak terlepas dari kepentingan partai politik. Dalam mengusut kasus yang melibatkan anggota Banggar DPR, penegak hukum harus menelusuri keterlibatan pihak lain.

"Jangan hanya berhenti di politisi itu saja. Harus diusut apa latar belakang politisi itu korupsi, kemungkinan besar terkait dengan kepentingan yang lebih besar, kepentingan partai," ujarnya.
Apalagi, anggota DPR yang ditempatkan di Banggar pasti bukan orang sembarangan di partainya. Nazaruddin misalnya, dia menjabat sebagai bendahara umum Partai Demokrat saat duduk di Banggar. Demikian juga dengan Zulkarnaen Djabar yang menjadi wakil bendahara umum Partai Golkar.
"Hanya mereka yang punya kedudukan penting dan memiliki loyalitas tinggi yang bisa masuk Banggar," ucap Ade.

Dia berpendapat, penegak hukum seharusnya menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) setiap mengusut kasus yang melibatkan anggota Banggar DPR. Selain menjerat si pelaku tindak pidana korupsi, TPPU juga dapat menjerat pihak lain yang ikut menikmati hasil korupsi tersebut.


Bersihkan Partai
Menurut Ade Irawan, hal yang penting dalam mencegah tindak pidana korupsi di Banggar adalah dengan membersihkan partai politik. Jika parpolnya sehat, otomatis partai tersebut tidak memilih orang-orang yang korup untuk masuk Banggar.

"Yang terpenting menyehatkan partai karena kalau partai sehat, politisinya akan sehat. Jika tidak, politisi itu akan saling sikut, berlomba memberikan konstribusi ke partai supaya akses ke legislatif atau eksekutif semakin terbuka," katanya.

Salah satu cara memperbaiki partai, lanjutnya, dengan membenahi sistem pendanaan partai. "Pendanaannya harus diperbaiki, harus ada keterbukaan laporan keuangan partai," ujarnya.
Semakin terbuka, semakin bersih, semakin minim ruang untuk melakukan tindak pidana korupsi. 
KOMPAS.com

KORUPSI KAS DAERAH, BEKAS BUPATI DIADILI

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya mulai mengadili bekas Bupati Mojokerto, Jawa Timur, Achmady dalam perkara korupsi kas daerah, Senin, 3 September 2012. Selain Achmady sebagai terdakwa pertama, jaksa penuntut umum juga mendakwa E. Suminto Adi, anggota DPRD Mojokerto yang juga bekas penyelia Bank Jatim cabang Mojokerto sebagai terdakwa kedua.

Jaksa penuntut Edwin menerangkan, sejak 2002 - 2008 Achmady secara bertahap mencairkan dana kas daerah yang disimpan di Bank Jatim cabang Mojokerto dengan status sebagai pinjaman pemerintah daerah. Pencairan dana tersebut, kata Edwin, menabrak prosedur karena dilakukan tanpa menyertakan surat perintah membayar. "Terdakwa memerintahkan kepala kantor kas daerah bernama Muhammad agar mencairkan dana hanya atas dasar disposisi bupati," kata Edwin.

Dalam mencairkan dana, Muhammad dibantu oleh Suminto Adi yang saat itu masih menjabat sebagai penyelia Bank Jatim. Suminto kemudian membuat rekening koran palsu untuk menutupi saldo kas daerah yang menyusut. Dari audit Badan Pemeriksa Keuangan Surabaya dinyatakan bahwa setidaknya Rp 61 miliar dana yang tidak jelas peruntukannya. Namun dari dana sebesar itu BPK Surabaya baru dapat membuktikan dugaan korupsi sebesar Rp 39,5 miliar.

Menurut Edwin, Rp 5,3 miliar di antara uang tersebut dipinjam oleh Wakil Bupati Mojokerto untuk biaya operasional kantor, mengobatkan anak sakit dan membiayai klub sepak bola PS Mojokerto Putra. Adapun sebagian lainnya dipinjam oleh beberapa anggota DPRD Mojokerto. Suwandi sendiri disidang dalam berkas terpisah. "Terdaksa Achmady melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 KUHP," kata Edwin.

Usai sidang Achmady yang nampak pucat enggan diwawancarai. Kuasa hukumnya, JB Rahardjo menilai dakwaan jaksa kurang jelas. Sebab, kata dia, jaksa tidak memerinci peran orang-orang yang turut menikmati dana kas daerah, seperti Sekretaris Daerah dan anggota Dewan. "Klien saya tidak sendirian menikmati uang itu," kata dia.

Rahardjo menambahkan, ia telah mengajukan permohonan kepada hakim agar kliennya diubah statusnya menjadi tahanan kota. Alasannya, Achmady menderita sakit komplikasi berupa hipertensi dan diabetes. "Untuk sementara klien kami dirawat oleh dokter Rumah Tahanan Negara Kelas I Surabaya," kata Rahardjo.

PRODUKTIVITAS RENDAH, KORUPSI MENINGKAT.. HA HA

Perayaan Hari Ulang Tahun ke-67 DPR hari ini diwarnai dengan pesimisme Badan Kehormatan (BK) DPR. Badan tersebut menilai produktivitas DPR sampai saat ini masih sangat rendah.

"Kita melihat jujur pada waktu ini produktivitas DPR masih rendah," kata Wakil Ketua BK DPR, Siswono Yudhohusodo, kepada detikcom, Rabu (29/8/2012).

Menurut Siswono, kinerja DPR di tiga fungsi utama yakni legislasi, pengawasan dan budget, belum dikerjakan dengan baik. Beberapa target DPR yang diagendakan tahunan juga tidak sepenuhnya tercapai.

"Kita melihat jujur pada waktu ini produktivitas DPR masih rendah. Digambarkan dari UU yang dihasilkan dari DPR, setiap tahun selalu di bawah sasaran," keluhnya.

Siswono yang juga politisi senior Golkar ini mengakui banyaknya anggota DPR yang tersangkut korupsi juga jadi catatan buruk. Karenanya harusnya tahun ini dijadikan momentum untuk perbaikan total di DPR.

"Kemudian kita melihat banyaknya anggota DPR yang tersangkut tindak pidana korupsi. Jadi oleh karena itu ulang tahun seperti ini harus dijadikan momentum untuk melakukan introspeksi dan memperbaiki diri," dorongnya.


Alhamdulillah..ternyata ada juga anggota DPR yang "sadar". 

Sumber :  DetikNews